Sering dikatakan oleh banyak orang, jika tidak memilih
demokrasi, berarti memilih monarki. Lalu dikatakan bahwa
monarki akan membawa pada tirani. Kemudian,
disimpulkan bahwa “kalau tidak demokrasi berarti tirani”.
Oleh karena itu, sistem pemerintahan terbaik adalah
demokrasi. Bahkan seandainya di dalam demokrasi
terdapat kekurangan, demokrasi tetap lebih baik dibanding
tirani.
Benarkah kalau tidak demokrasi berarti tirani? Untuk
mengkaji hal ini kita perlu melacak para penggagas ide
itu, yaitu para filusuf Yunani Kuno. Menurut Aristoteles
sendiri sistem kekuasaan terbagi menjadi enam yaitu:
monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi dan
mobokrasi. Dengan mencermati klasifikasi jenis kekuasaan
oleh Aristoteles ini, maka pernyataan bahwa “jika tidak
demokrasi berarti tirani”, jelas bertentangan dengan maha
gurunya sendiri. Sebab, selain tirani dan demokrasi, masih
ada empat yang lain, yaitu monarki, aristokrasi, oligarki
dan mobokrasi.
Selanjutnya masih menurut Aristoteles, jenis kekuasaan
yang enam tadi dapat diringkas lagi menjadi tiga
berdasarkan banyaknya orang yang memegang kekuasaan,
yaitu apakah kekuasaan itu dipegang oleh satu tangan
atau orang (mono), beberapa tangan atau orang (few),
ataukah banyak tangan atau orang (many). Kekuasaan di
sini diartikan sebagai kemampuan seseorang atau
sekelompok orang untuk mempengaruhi pihak lain agar
mereka menuruti keinginan atau maksud si pemberi
pengaruh.
Masih menurut Aristoteles, baik-buruknya kekuasaan itu
tidak terletak pada jumlah pemagang kekuasaan, apakah
kekuasaan itu mono, few atau many. Kekuasaan yang
dipegang satu orang (mono) bisa baik, ini yang dinamakan
monarki; dan bisa juga buruk, ini yang dinamakan tirani.
Kekuasaan yang dipegang beberapa orang (few) bisa baik,
ini yang dinamakan aristokrasi; dan bisa juga buruk, ini
yang dinamakan oligarki. Kekuasaan yang dipegang
banyak orang (many) bisa baik, ini yang dinamakan
demokrasi; dan bisa juga buruk, ini yang dinamakan
mobokrasi (anarki). Tentu saja yang dimaksud baik-buruk
di sini, bukan dalam hakikatnya, tetapi baik-buruk menurut
persepsi Aristoteles (manusia). Pembahasan baik-buruk
dari aspek hakikatnya ini memerlukan pembahasan
tersendiri.
Apakah dalam demokrasi, rakyat benar-benar berkuasa?
Secara teori, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal
terdiri dari dua jenis, yaitu demokrasi langsung (direct
democracy) dan demokrasi perwakilan (representative
democracy).
Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya
secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung
demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau.
Namun menurut Rousseau, demokrasi langsung ini hanya
mungkin dilaksanakan dalam masyarakat sederhana yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, jumlah rakyat
harus sedikit, kedua pemilikan dan kesejehateraan harus
sudah merata atau hampir merata, ketiga masyarakat harus
homogen (sama) secara budaya, dan keempat masyarakat
harus bermata pencaharian pertanian.
Dalam demokrasi langsung, secara teoritis, kedaulatan
rakyat memang lebih nyata karena rakyat terjun secara
langsung tanpa perwakilan. Semua warga negara ikut
terlibat di dalam proses pengambilan keputusan. Namun,
apakah demokrasi langsung ini benar-benar ada? Tidak
ada. Bahkan, pada masa negara-kota Yunani Kuno, ada
beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk
ikut serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu:
budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan mustahilnya demokrasi langsung, maka demokrasi
disulap menjadi demokrasi perwakilan. Di dalam
demokrasi perwakilan, tetap diasumsikan rakyat berdaulat.
Ingat, diasumsikan. Sekali lagi, diasumsikan. Sebenarnya,
rakyat tidak terlibat dalam pengambilan keputusan,
pembuatan aturan dan UU. Yang membuat aturan adalah
wakil rakyat.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat sebetulnya tidak
terlibat dalam membuat UU dan aturan. Misalnya saja, dari
hampir 240 juta jiwa warga negara Indonesia, proses
pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya
dilakukan oleh sekitar 500 orang wakil rakyat yang duduk
menjadi anggota DPR. Apakah 500 orang ini benar-benar
mewakili rakyat? Secara teori memang harus begitu, tetapi
jangan tanya praktiknya. Praktiknya, wakil rakyat justru
mewakili para kapitalis atau mewakili dirinya sendiri atau
partainya. Saat BBM dinaikkan, apakah itu wewakili suara
rakyat??? Rakyat mana yang setuju BBM naik???
Dalam demokrasi, kekuasaan dan kepentingan menjadi
tujuan. Karena itu kekuasaan dibagi-bagi. Oleh sebab itu,
jika kekuatan-kekuatan politik berimbang, biasanya justru
akan terjadi chaos (kekacauan), karena masing-masing
kekuatan saling menyandra. Keadaan ini diungkapkan
dengan pernyataan: bellum omnium contra omnes (perang
semua lawan semua). Kondisi demokrasi yang seperti ini
dinamakan dengan anarki atau mobokrasi. Anarki ini
merupakan suatu bentuk dari demokrasi, di mana rakyat
memang berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi
perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat
secara damai.
Jadi, pernyataan bahwa jika tidak demokrasi berarti tirani,
merupakan pernyataan yang tidak ada landasan teoritisnya.
Penyataan bahwa demokrasi selalu membawa kebaikan,
juga tidak ada pijakan teoritisnya.
*****
Telah dibahas bahwa baik buruknya kekuasaan bukan
ditentukan dari jumlah pihak yang berkuasa, apakah mono,
few atau many. Tidak bisa diambil kesimpulan bahwa
demokrasi selalu berdampak baik, baik secara teori atau
praktik. Bisa jadi, kekuasaan mono itu baik atau
sebaliknya. Bisa jadi kekuasaan many itu baik atau
sebaliknya.
Bahkan menurut para pakar sendiri bahwa kekuasaan yang
dipegang satu orang (mono) terkadang lebih baik
dibanding banyak orang. Sebab, jenis kekuasaan yang
dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk
menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam
proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele,
pendapat yang beragam, atau persaingan antar kelompok
menjadi relatif terkurangi karena cuma ada satu kekuasaan
yang dominan.
Namun kekuasaan yang hanya dipegang satu orang, akan
menjadi tirani karena disalahgunakan oleh pihak yang
berkuasa. Tetapi, saat kekuasaan di pegang oleh many
juga tidak ada jaminan tidak disalahgunakan oleh banyak
(many) orang yang berkuasa. Bukankah kita sering
mendengar tirani mayoritas? Bukankah kita melihat dengan
kepala sendiri, korupsi berjamaah oleh pihak-pihak yang
berkuasa dalam sistem demokrasi?
Sebetulnya baik buruknya suatu kekuasaan sangat
ditentukan oleh faktor lain, yaitu paradigma pihak yang
berkuasa dan juga paradigma rakyat yang membentuk
sistem. Selama paradigmanya adalah bahwa aturan dibuat
manusia, maka baik yang berkuasan mono, few atau many,
kekuasaan akan cendrung disalahgunakan oleh pihak yang
membuat aturan. Pembuat aturan akan membuat aturan
yang mementingkan dirinya, kelompoknya dan kolega-
koleganya. Selama paradigma kebahagiaan hanyalah
terpenuhinya kebutuhan indrawi, maka baik yang berkuasan
mono, few atau many, kekuasaan akan dijadikan sebagai
alat untuk memuaskan nafsu serakahnya. Di sini tidak ada
bedanya kekuasaan itu mono, few atau many,.
Lalu, bagaimana solusi atas masalah ini? Inilah yang
membuat Aristoteles dan para filosof lainnya pusing tujuh
keliling. Sebab, solusi atas masalah itu haruslah
memenuhi tiga syarat:
_*Pertama*, bahwa aturan itu harus dibuat oleh pihak yang
tidak memiliki kepentingan pribadi dan kelompok.
Padahal, karakter dasar manusia selalu mementingkan diri
dan kelompoknya._
_*Kedua*, pihak yang berkuasa harus memahami bahwa
pertanggung-jawaban kekuasaannya harus lebih substantif,
dibanding hanya pertanggung jawaban di hadapan manusia
yang bisa dimanipulasi._
_*Ketiga*, rakyat yang diatur harus memiliki pemahaman
tentang aturan yang berlaku, sehingga mereka terlibat
dalam memberikan kontrol kepada penguasa saat mereka
mengalami penyimpangan._
Terus terang ketiga syarat ini tidak akan pernah ditemukan,
kecuali hanya dalam Islam. *Hanya Islam dengan sistem
Khilafahnya yang akan memnuhi ketiga syarat di atas."*
*Pertama, dalam Khilafah, aturan datang dari Allah SWT*,
Sang Pencipta alam semesta, yang tidak memiliki
kepentingan apapun kecuali kebaikan umat-Nya.
*Kedua, hanya dalam Islam, pihak yang berkuasa,
siapapun dia, akan bertanggung jawab di hadapan Allah
SWT*, pada suatu hari manusia tidak akan bisa berdusta.
Sikap inilah yang dinamakan taqwa. Apakah ada taqwa
dalam sistem selain Islam?
*Ketiga, hanya dalam Islam, rakyat memiliki pemahaman
yang sama baiknya dengan para pemimpinnya*. Sebab, al
quran dan hadits bukan hanya dipegang oleh para
penguasa, tetapi juga dipegang dan dikaji dengan teliti
oleh semua rakyat. Dengan demikian, saat seorang
penguasa menyimpang dari aturan Allah SWT, rakyat akan
maju ke depan mengoreksi pemimpinnya yang
menyimpang. Bahkan Rasulullah SAW. menyampaikan
dalam hadits: “Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak
di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan
seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim
atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu
penguasa itu membunuhnya”. (HR. Imam Al Hakim dan
Thabaraniy).
Dalam praktiknya yang sangat panjang selama lebih dari
1000 tahun, sistem Khilafah telah membawa
kepemimpinan yang adil, berkah dan membawa
kesejahteraan rakyatnya. Sebagai manusia biasa, seorang
Khalifah meskipun dipilih dari kalangan orang yang ber-
taqwa, tetapi dalam perjalanan waktu mereka bisa
menyimpang. Kita juga telah melihat bagaimana
masyarakat Islam (terutama para ulama) tampil di garda
terdepan untuk mengoreksi para penguasa yang
menyimpang. Sikap kepahlawanan yang ditunjukkan oleh
para ulama itu terdokumentasi dengan sangat baik, di
berbagai kitab para ulama yang datang setelah,
diantaranya adalah kitab Al Islam Bainal Ulama Wal
Hukkam, karya Syeikh Abdul Aziz Al Badry.
Dalam Islam telah dipisahkan dengan sangat jelas antara
assiyadah (kedaulatan, pembuat undang-undang) dan
assulthan (kekuasaan, pihak yang memilih Khalifah).
Dalam Islam assiyadah berada di tangan Allah SWT.
Hanya Allah SWT yang memilikinya. Sementara assulthan
itu milik umat, artinya pemimpin dipilih oleh umat bir-ridlo
wal ikhtiyar (dengan keridloan dan kebebasan). Inilah yang
membedakan Khilafah dengan semua sistem pemerintahan
di dunia lainnya.
Itulah Islam. Itulah sistem Khilafah.
Khilafah bukan demokrasi, namun juga bukan anarki.
Khilafah bukan aristokrasi, namun juga bukan oligarki.
Khilafah bukan monarki, namun juga bukan tirani. Khilafah
adalah Khilafah. Khilafah adalah sistem pemerintahan
Islam yang datang dari Sang Pencipta alam semesta.
Saya tidak tahu bagaimana respon Aristoteles, seandainya
dia mengetahui Islam dengan sistem Khilafahnya.
Mungkin, dia akan menyatakan bahwa sistem inilah yang
diidam-idamkannya.
Wallahu a’lam.