Perbandingan Nyata Antara Utang negara dengan Potensi Freeport
UsaBersyariah.Com --- Utang Pemerintah Pusat sampai dengan Januari 2017 mencapai Rp 3.549,17 triliun. Angka ini meningkat 2,37 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan meningkat 10,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Saat ini utang pemerintah terdiri atas Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp2.815,71 triliun dan pinjaman sebesar Rp733,46 triliun.
Adapun, bila dihitung sepanjang Januari 2017, utang pemerintah telah bertambah Rp 82,21 triliun. Sebab, pada akhir 2016, utang pemerintah tercatat Rp 3.466,96 triliun.
Penambahan tersebut berasal dari kenaikan SBN sebesar Rp 81,88 triliun dan bertambahnya pinjaman sebesar Rp 0,33 triliun.
Sejauh ini, mayoritas utang pemerintah masih dalam mata uang rupiah, yaitu sebesar 58 persen. Sisanya dalam dolar Amerika Serikat (AS) sebesar 30 persen, yen Jepang 7 persen, euro 4 persen, dan dolar Singapura serta mata uang lainnya sebesar 1 persen.
Ini artinya, risiko nilai tukar yang tampak dari rasio utang dalam mata uang asing terhadap total utang tak berubah dibanding tahun lalu. (katadata.co.id, 23/2/2017)
Per Hari Saja Freeport Hasilkan 165 Ribu Ton Bijih Tambang
PT Freeport Indonesia sudah beroperasi lebih dari 50 tahun di tanah Papua. Pada 2016, Grasberg yang merupakan tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar di dunia mampu memproduksi 165 ribu ton bijih dalam sehari. Angka ini meningkat dari rata-rata tahun sebelumnya sebesar 162 ribu ton.
Pabrik Pengolahan menghasilkan konsentrat tembaga dan emas dari bijih yang ditambang dengan melalui proses memisahkan mineral berharga dari pengotor yang menutupinya. Dalam setahun, Freeport mampu memproduksi tembaga sebanyak 1 miliar pon, sedangkan produksi emas mencapai 1 juta ons.
Seperti diketahui, Freeport tak lagi melakukan ekspor sejak 12 Januari lalu. Hal tersebut imbas dari pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Sesuai PP itu, pemerintah mengizinkan perusahaan tambang yang belum melakukan hilirisasi dengan membangun smelter untuk melakukan ekspor konsentrat.
Syaratnya, perusahaan itu harus mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Beberapa hari terakhir, muncul wacana arbitrase yang akan dilakukan Freeport karena tidak puas dengan kebijakan baru pemerintah mengenai perubahan status kontrak.
Langkah yang Harus Diambil
Di tengah ancaman Freeport yang akan memperkarakan pemerintah Indonesia ke pengadilan arbitrase internasional karena negosiasi perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) belum menemui titik temu, peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Ishak menyatakan ini sebagai momen mengambil alih saham perusahaan tersebut.
“Langkah yang seharusnya diambil pemerintah adalah mengambil alih saham perusahaan tersebut,” tegasnya kepada mediaumat.com, Jum’at (24/2/2017).
Dengan demikian, seluruh potensi pendapatan perusahaan itu dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat negara ini. “Apalagi, BUMN Indonesia seperti PT Antam tidak akan kesulitan untuk mengelola tambang itu, ditambah lagi, sebagian besar pekerja di pertambangan tersebut merupakan orang-orang yang berasal dari Indonesia,” bebernya.
Namun, lanjut Ishak, melihat rekam jejak (track record) yang selama ini lebih banyak tunduk kepada kepentingan negara-negara asing khususnya Amerika Serikat, maka pemerintah akan sangat berat untuk melakukan hal ini.
“Alhasil, kasus ini menunjukkan pentingnya sistem yang benar sebagaimana yang diatur Islam bahwa kekayaan alam yang melimpah harus dikelola oleh negara. Selain itu, pentingnya keberadaan pemerintah dapat bersikap mandiri dan berani menolak kepentingan negara-negara imperialis seperti Amerika Serikat,” pungkasnya. (mediaumat.com, 24/2/2017)