UsaBersyariah.Com --- Aroma rencana pembubaran terhadap ormas-ormas islam yang disinyalir menggerakkan atau menginspirasi aksi bela islam begitu menyengat. Pasca penangkapan dan kriminalisasi tokoh maupun ulama dilakukan secara masif. Di tengah keberadaan Ahok Sang Penista Agama yang masih disidang belum jelas ujung akhir putusan pengadilan atas kasusnya. 


Sementara itu PDI P secara all out menginstruksikan kepada seluruh kader di berbagai daerah melalui surat edaran untuk mengawal putaran 2 pilkada DKI Jakarta tanggal 19 April 2017. Di sisi lain isu reshuffle kabinet santer terdengar dari istana mulai dari pencopotan maupun pergeseran menteri. Setidaknya ada beberapa moment penting yang terjadi belakangan. Isthigotsah Kubro oleh PWNU Jawa Timur, 9 April 2017, di GOR Delta Sidoarjo yang dihadiri ratusan ribu jamaah. Seolah menjawab gerakan aksi bela islam yang dihadiri oleh jutaan orang. Pasca FPI yang diancam dibubarkan dan akan dijadikan test case untuk seluruh entitas gerakan dakwah islam. 

Belakangan HTI juga tidak luput dari ancaman ini. Rencana Masiroh Panji Rasullulloh SAW yang sedari awal akan diselenggarakan oleh HTI DPD Jawa Timur dibatalkan dan berubah menjadi gerakan tahajud dan shubuh kubro di Masjid Al Akbar Surabaya. Pembatalan itu disinyalir adanya penghadangan oleh Banser sejumlah 1.500 orang. Dengan segala pertimbangan, penyelenggara acara Masiroh Panji Rasullulloh yang dihadiri kurang lebih 50.000 kader militan HTI yang siap syahid itu akhirnya mengurungkan niatnya. Acara di Jawa Timur yang menjadi rangkaian acara seluruh Indonesia itu berakhir dengan damai. Pasca kejadian itu nampaknya dinamika terjadi begitu intens. 

Misalnya pemukulan oleh Banser terhadap Ketua HTI Purbalingga saat acara konvoi damai. Dan penghadangan acara yang serupa di Semarang. Terakhir info hangat tentang penembakan terduga teroris sejumlah 6 orang di Tuban dan penangkapan salah seorang anggota DPR dari Bangil atas dugaan terlibat dalam aksi terorisme meski akhirnya dilepaskan karena dinyatakan tidak bersalah.

Apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini ? Apa latar di balik semua peristiwa yang terjadi ? Kemana ujung yang akan terjadi ke depan ?. Adalah deretan pertanyaan wajar untuk mencoba memahami kaitan peristiwa satu dengan yang lain. Dalam pandangan penguasa sesuatu yang niscaya bahwa seluruh komponen bangsa memiliki pandangan sama dan produktif terhadap berbagai kebijakan publik yang ditentukan. Tidak penting dalam kacamata penguasa perspektif normatif yang bersumber dari basis keyakinan agama. Sepanjang sejalan dengan kepentingan penguasa maka akan ditoleransi. 

Namun sebaliknya jika berlawanan arus maka akan dihancurkan secara otomatis. Dalam kondisi seperti ini kita tidak bisa melihat secara kasat mata apa hidden agenda dari kekuatan politik yang mengendalikan penguasa. Karena yang nampak hanyalah simbol-simbol normatif slogan-slogan program pembangunan. 

Munculnya istilah “Demokrasi Korporasi” atau “Demokrasi sedang bergerak pada kepentingan Kapitalis” hanyalah bentuk perabaan secara kasar dari kondisi yang menyeruak ke permukaan. Kurang menggambarkan secara detil apa makna dari berbagai kejadian dan kaitan di antaranya. Secara khusus makna dari rencana pembubaran ormas-ormas islam seperti FPI dan HTI bisa dideskripsikan secara sederhana sebagai berikut :

Pertama, Tidak boleh ada entitas apapun alasannya yang menghambat atau berpotensi menghambat seluruh agenda tersembunyi penguasa. Agenda yang dibungkus rapi dengan bahasa komunikasi politik bernama pembangunan nasional. Pembangunan nasional saat ini sejatinya lebih didominasi oleh kepentingan skenario global melalui berbagai perjanjian regional maupun internasional. Publik diyakinkan secara paksa untuk menerimanya sebagai sebuah keniscayaan dengan iming-iming janji perbaikan nasib. Padahal faktanya semuanya masih dalam bentuk euforia. 

Dalam kondisi seperti itu rakyat dibiarkan tidak cerdas agar tidak kritis. Agar rakyat menjadi tergantung secara mindset dengan orang-orang yang dianggap memiliki kepakaran di bidangnya. Pembodohan nasional menjadi program sangat efektif untuk melancarkan agenda pembangunan nasional. Pembangunan nasional dengan indikator utama masifnya pergerakan investasi telah menjadi ideologi baru yang menghipnotis seluruh elemen bangsa. 

Sementara tanda-tanda kerusakan sistemik semua sektor nampak begitu vulgar. Kegelisahan arah dan tanda ketidakberhasilan pembangunan oleh penguasa memunculkan sikap sensitif sekaligus represif terhadap berbagai faktor dan elemen yang diduga menghalang-halangi kepentingan pembangunan. Sementara kesalahan paradigmatik pembangunan nasional tidak berani dilihat sebagai hal yang obyektif hingga berani merumuskan strategi pembangunan nasional yang hakiki.

Kedua, radikalisme dan terorisme adalah musuh kepentingan ekonomi global. Radikalisme dan terorisme dalam pengertian faktual adalah nilai-nilai yang mengkritisi dan menawarkan alternatif mendasar dan komprehensif terhadap ideologi dasar pembangunan ekonomi kapitalistik. Islam sebagai nilai-nilai alternatif yang mendasar dan komprehensif akan dianggap sebagai ancaman fundamental. Cara efektif untuk menghadangnya tidak lain menciptakan tafsir baru terhadap Islam dan membuat sebuah model sekaligus branding islam sebagai agama yang ortodok dan primitif. Atau dengan kata lain islam lokal dan nasional diciptakan dalam kerangka pemetaan ketergantungan politik dalam bingkai imperialisasi. 

Dengan masifnya pengalihan alamat tertuduh siapa sebenarnya biang cengkarung perpolitikan internasional dari pelaku penjajahan global kepada obyek penjajahan global yakni kaum muslimin berbagai negara yang tidak berdaya. Dalam kondisi seperti itu akan ada entitas kaum muslimin yang dipergunakan sebagai tameng sekaligus legitimasi bagi kepentingan penjajahan tanpa sadar dimanfaatkan maupun diberdaya karena ditumpulkan kepekaan politiknya. 

Dan dibesarkan ego kelompoknya serta dibenturkan dengan entitas islam lain yang menjadi ancaman riil kepentingan global. Ego kelompok yang dibesarkan itu diantaranya dengan menciptakan image perlunya kewaspadaan dan antisipasi akan bahaya ancaman nasional termasuk bahaya terhadap Pancasila dan NKRI. Radikalisme dan terorisme telah secara apik mampu dihadap-hadapkan sebagai ancaman nasional ketimbang imperialisme dan liberalisme. 

Secara kasat mata, dengan perubahan mindset bangsa di negeri ini imperialisasi dan liberalisasi lebih dianggap masih mudah ditoleransi ketimbang terorisasi dan radikalisasi. Tanpa secara jernih melihatnya secara obyektif mana tawaran solusi alternatif mendasar dan komprehensif. Dan mana yang pemaksaan dengan intimidasi dan operasi. Dalam banyak kasus, negara melalui penguasalah yang lebih mengedepankan kekuasaan dalam mengambil kebijakan publik ketimbang dialog.

Ketiga, FPI dan HTI adalah representasi entitas islam yang dianggap paling rasional logis untuk alamat radikalisme dan terorisme. Sementara kapitalis liberal sekuler baik asing maupun aseng telah berhasil difasilitasi oleh asong berlindung di dalam ketiak jargon Pancasila dan NKRI di bawah pengawalan entitas muslim lain yang gampang diberdaya dan dimanfaatkan buah dari pembodohan nasional melalui para pemimpinnya. 

Sekalipun terdapat fakta terorisme yang terjadi di Tuban maupun penangkapan anggota DPR dari Bangil semuanya hanya digunakan sebagai konstruksi opini untuk memperkuat legitimasi bahaya radikalisme dan terorisme yang direpresentasikan oleh kedua kelompok tersebut. Meski terjadi kejanggalan terorisme di Tuban yang lebih sebagai realitas perampokan. Tapi rekayasa opini media telah membuat framing ketakutan masyarakat terutama kaum muslimin melihat berita terorisme. Dan menciptakan prejudice terhadap kelompok-kelompok yang diidentifikasi sama.

Keempat, arah pembubaran itu terasa jelas dengan kerangka berpikir ketiga point di atas. Tinggal menunggu waktu injury time mekanisme formal keberadaan FPI dan HTI. Tapi yang nampak dilupakan oleh penguasa adalah ketiadaan status formal kelembagaan tersebut tidak akan bisa menghapus semangat dakwah dan ruhul jihad para pejuang islam. Moment pembubaran FPI dan HTI hanya akan memunculkan semangat perlawanan yang akan semakin menggelora. Tetapi bukan semangat perlawanan terhadap saudaranya sendiri yang menjadi jebakan musuh sebenarnya.

Kita akan menunggu siapa saja yang jernih dan holistik melihat problem bangsa ini. Kelompok yang dituduh sebagai kelompok radikal atau teror. Atau kelompok yang dapat diperdaya karena kepentingan sesaat. Oleh para penguasa yang sedang bermain api. Allahu ‘alam bis showab. [VM]

Oleh : Moh Kasdari (Pemerhati Sosial Ekonomi)

Post a Comment

JANGAN LEWATKAN

[random][fbig2][#e74c3c]

Contributors

Powered by Blogger.